Iklan sebagai Media Pembinaan Bahasa Indonesia

Felicia Nuradi Utorodewo
16 min readJan 17, 2023

--

Makalah yang disajikan dalam Kongres Bahasa Indonesia VII, 26–30 Oktober 1998

Membahas masalah penggunaan bahasa dalam periklanan bukan pekerjaan yang mudah. Selama tujuh kali penyelenggaraan Kongres Bahasa baru pada Kongres VII inilah bahasa iklan dibicarakan, padahal laras jurnalistik sudah dibahas sejak Kongres Bahasa I. Bahasa dalam iklan merupakan laras bahasa tersendiri yang belum banyak diteliti oleh para pemerhati bahasa. Jika saya mengatakan “belum banyak dibahas”, tidak berarti bahwa masalah ini belum pernah diperbincangkan. Pusat Bahasa (1992) pernah meneliti pemakaian bahasa dalam iklan. Di Fakultas Sastra UI, sudah ada beberapa skripsi yang menggunakan iklan sebagai data penelitian mereka (Utorodewo, 1981; Julfiansyah, 1992; Fathia, 1991). Pertemuan antara para ahli bahasa dan praktisi periklanan juga sudah sering diadakan. Akan tetapi, masih saja muncul pertanyaan: “Bagaimana mutu penggunaan bahasa Indonesia dalam periklanan dan bahasa Indonesia yang bagaimana yang seharusnya digunakan dalam periklanan?

Pada dasarnya, periklanan adalah usaha komunikasi yang efektif dan efisien (Kleppner, 1979). Iklan berfungsi untuk memperkenalkan dan menjual sebuah gagasan atau produk. Iklan berfungsi untuk membentuk pola pikiran di benak masyarakat mengenai suatu gagasan atau produk. Mengapa dikatakan gagasan dan produk? Karena, sekarang, iklan tidak hanya berfungsi untuk memasarkan atau menjual produk, melainkan juga untuk memasarkan atau memperkenalkan suatu gagasan. Iklan seperti ini disebut iklan layanan masyarakat, misalnya iklan Gemar Membaca, iklan Persatuan Indonesia.

Sebuah wacana iklan dibangun oleh beberapa unsur. Bahasa hanya merupakan salah satu unsur di antara beberapa unsur yang membangun wacana iklan.

Gambar 1 Unsur Iklan

Bagian iklan yang dapat diteliti secara linguistis hanyalah unsur teksnya (Cook, 1992). Padahal, keutuhan wacana iklan, seperti kita lihat bersama, tidak hanya dibangun oleh bahasa. Sering kali, bahasa hanya merupakan unsur penunjang. Di lain pihak, sebuah iklan merupakan hasil kerja tim yang, seharusnya, dilandasi oleh suatu hasil riset (Kasali, 1992). Ada riset pasar; ada riset perilaku konsumen; ada riset media. Hasil akhir yang sampai kepada pembaca atau penonton iklan adalah hasil perumusan dan kerja panjang. Hal yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa dalam proses itu bahasa tetap memegang peranan penting.

Di sinilah kita dapat menekankan peran penting dari penguasaan bahasa yang baik dan benar. Iklan merupakan sebuah usaha komunikasi. Iklan merupakan hasil manipulasi bahasa untuk mencapai tujuan tertentu. Iklan merupakan usaha persuasi. Makin terbatas jumlah kata yang digunakan dalam sebuah iklan makin tinggi kepentingan penggunaan bahasa yang baik dan benar. Kita hanya dapat bermain dengan bahasa atau memanipulasi bahasa jika penguasaan bahasa kita sudah baik. Bahasa menjadi alat bagi kita untuk mencapai tujuan kita.

Untuk membahas bagaimana peranan iklan sebagai media pembinaan bahasa Indonesia, saya akan mengawali pembahasan saya dengan menguraikan pengertian laras dan bahasa iklan, yang diikuti oleh pembahasan mengenai mutu bahasa iklan. Berikutnya, saya akan membahas masalah penggunaan bahasa dalam iklan media elektronik dan melihat dampak iklan terhadap perilaku berbahasa masyarakat. Terakhir, saya akan menutup pembahasan saya dengan memberikan masukan dalam hal strategi dan upaya dalam mengembangkan bahasa laras iklan.

Laras dan Bahasa Iklan

Lalu, bahasa Indonesia yang bagaimana yang harus digunakan dalam periklanan? Bahasa Indonesia yang komunikatif. Bahasa Indonesia laras iklan. Seperti apakah bahasa Indonesia laras iklan? Pertanyaan itu sulit dijawab sebelum ada penelitian yang menyeluruh mengenai penggunaan bahasa Indonesia dalam laras iklan. Tanpa penelitian yang menyeluruh kita belum dapat mengetahui perilaku bahasa dalam laras iklan. Lalu, ada pertanyaan lain, jenis iklan seperti apa yang patut menjadi objek penelitian? Iklan masih dapat diklasifikasikan lagi atas berbagai jenis iklan. Ada iklan baris; ada iklan keluarga; ada iklan lowongan kerja. Dalam dunia periklanan jenis iklan dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis iklan (Kasali, 1992). Kedua jenis itu adalah sebagai berikut:

  1. Iklan lini atas (above-the-line advertisement), yaitu iklan-iklan yang dimuat dalam media cetak, media elektronik, serta media luar ruang.
  2. Iklan lini bawah (below-the-line advertisement), yaitu pemasaran yang menggunakan media di luar media yang telah disebutkan di atas, seperti direct mail, pameran, selebaran, kalender, agenda, bahan pemasaran di tempat penjualan, dan sebagainya.

Biasanya, bahasa laras iklan yang menjadi perhatian kita adalah iklan lini atas. Iklan itu pun, berdasarkan bentuknya, masih dapat dibedakan atas iklan biasa, iklan advertorial, iklan sponsor.

Jadi, kita lihat bahwa sebenarnya ada berbagai jenis iklan yang membutuhkan jenis bahasa tertentu juga. Pemakaian bahasa ditentukan atas jenis media, bentuk iklan, khalayak sasaran iklan, produk iklan, dan banyak lagi. Akan tetapi, marilah kita kembali kepada moto yang sering kita dengar. “Gunakanlah bahasa Indonesia dengan baik dan benar”. Banyak orang, terutama masyarakat awam, mengira bahwa moto itu menekankan penggunaan bahasa Indonesia yang formal. Akibatnya, banyak orang melecehkan atau mengabaikan moto tersebut dan menganggapnya sebagai moto yang tidak fleksibel; moto yang kaku; moto yang tidak menarik. Padahal, moto itu tidak hanya menekankan penggunaan bahasa formal, melainkan juga penggunaan bahasa yang komunikatif. Jika ada anggapan bahwa penggunaan bahasa dengan baik dan benar akan menghalangi kebebasan berbahasa atau menghalangi kreativitas berbahasa, sebenarnya pendapat itu salah.

Penggunaan bahasa dengan baik menekankan aspek komunikatif bahasa. Hal itu berarti bahwa kita harus memperhatikan sasaran bahasa kita. Kita harus memperhatikan kepada siapa kita menyampaikan bahasa kita. Oleh sebab itu, unsur-unsur seperti pendidikan, agama, penghasilan, lingkungan sosial, dan sudut pandang dari sasaran komunikasi kita tidak boleh kita abaikan. Cara kita berbahasa kepada anak kecil dengan cara kita berbahasa kepada orang dewasa tentu berbeda. Penggunaan bahasa untuk lingkungan yang berpendidikan tinggi dan berpendidikan rendah tentu tidak dapat disamakan. Lebih lanjut lagi, karena berkaitan dengan aspek komunikasi, maka unsur-unsur komunikasi menjadi penting, yakni pengirim pesan, isi pesan, media penyampaian pesan, dan penerima pesan.

Pengirim pesan dalam komunikasi periklanan terbagi atas produsen dan perusahaan periklanan. Isi pesan adalah jenis produk atau gagasan yang sampaikan kepada khalayak sasaran. Media penyampaian pesan adalah media lini atas atau lini bawah yang di bahas di atas. Penerima pesan adalah khalayak sasaran dari iklan.

Gambar 2 Unsur Komunikasi

Penggunaan bahasa yang benar berkaitan dengan pemahaman dan penggunaan aspek kaidah, yakni peraturan bahasa. Dalam hal ini ada empat hal yang harus diperhatikan, yaitu masalah tata bahasa, pilihan kata, tanda baca, dan ejaan. Pengetahuan atas tata bahasa dan pilihan kata harus dimiliki dalam penggunaan bahasa lisan dan tulisan, sedangkan pengetahuan atas tanda baca dan ejaan harus dimiliki dalam penggunaan bahasa tulisan.

Berdasarkan uraian tadi terlihat bahwa berbahasa dengan baik dan benar tidak hanya menekankan kebenaran dalam hal tata bahasa, melainkan juga memperhatikan aspek komunikatif. Bahasa yang komunikatif tidak selalu harus merupakan bahasa formal. Sebaliknya, penggunaan bahasa formal tidak selalu berarti bahwa bahasa itu baik dan benar. Sehingga apa yang ditakutkankan oleh Judy Uway dalam makalahnya ‘’Peran P3I dalam Pembinaan Bahasa Indonesia’’ tidak beralasan. Di halaman 2 Judy mengatakan ‘’Tetapi bagaimana mungkin…menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, di mana bisa dikatakan bahasa formal yang belum bisa dipahami oleh si anak’’. Dikatakannya juga, ‘’…terjadilah dilema antara menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dengan menggunakan bahasa iklan yang dapat menjual produk ke konsumennya.’’ Semoga uraian atas moto ‘’Gunakanlah Bahasa Indonesia dengan Baik dan Benar’’ dapat mengatasi dilema yang dihadapi oleh teman-teman kita di periklanan. Benny H. Hoed (Muhadjir, 1992) mengatakan, ‘’Sebaiknya, kekayaan bahasa Indonesia dari berbagai ragam, sosiolek, dan dialek yang ada dalam masyarakat perlu dimanfaatkan untuk menciptakan iklan yang segar dan tidak selalu harus bertumpu pada ragam baku.’’

Mari kita bahas beberapa contoh. Dalam sebuah iklan rokok (lampiran 1) terdapat frase ‘’Pria Punya Selera’’. Frase tersebut mengangkat dialek Indonesia Timur, seperti ngana pe rumah ‘kamu punya rumah’. Dalam dialek Jawa, frase kepemilikan seperti itu akan muncul dalam bentuk griyanipun panjenengan ‘rumahnya kamu’. Dalam bahasa Indonesia, frase kepemilikan dinyatakan dalam bentuk rumah kamu. Jika kita terapkan pembahasan kita mengenai penggunaan ragam, sosiolek, dan dialek bahasa pada frase ‘’pria punya selera’’, secara kaidah tata bahasa, frase tersebut seharusnya berbunyi ‘’selera pria’’ atau ‘’selera laki-laki’’. Frase ini berlaku baik dalam laras bahasa lisan maupun tulisan, ragam baku maupun nonbaku. Jadi, jika kita memandangnya dari sudut penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, frase ‘’selera pria’’ lebih berterima dibandingkan frase ‘’pria punya selera’’. Dari segi komunikasi pun frase ini tetap mudah dimengerti. Jika kita memandangnya dari segi periklanan, frase itu lebih singkat (bahasa iklan selalu mempermasalahkan space atau tempat), tidak memihak pada kelompok etnis tertentu, dan dengan sendirinya daya jangkau khalayak sasarannya lebih luas.

Contoh berikutnya diambil dari iklan lampu, ‘’Terus terang, Philip terang terus’’. Dalam kalimat ini terjadi permainan bahasa yang menunjukkan bahwa penulis iklan tersebut dengan sadar mempermainkan letak kata terus dan terang. Kalimat ini menggunakan ragam baku yang sama sekali tidak mengganggu kelancaran penyampaian pesan. Permainan katanya begitu menarik dan mudah diingat oleh khalayak sasaran.

Contoh ketiga adalah iklan kopi (lampiran 2), ‘’Pelan-pelan? Kita ‘kan belum setua itu, Bo.’’ Penggunaan tanda baca dalam iklan ini sangat cermat. Ragam bahasa yang digunakan dalam iklan ini jelas merupakan ragam nonformal yang sering digunakan oleh remaja Jakarta. Akan tetapi, meskipun bahasa yang digunakan merupakan ragam nonformal, kalimat itu sama sekali tidak menyalahi kaidah tata bahasa. Melalui ragam bahasa yang digunakan, jelas bahwa khalayak sasaran iklan tersebut adalah kaum remaja. Hanya saja, seperti contoh pertama, dengan digunakannya ragam nonformal, khalayak sasaran menjadi lebih terfokus atau terbatas, yakni kaum remaja di lingkungan kota besar, terutama Jakarta. Iklan tersebut juga hanya berlaku atau dikenali dalam kurun waktu tertentu saja, karena slang ‘’Bo’’ hanya populer digunakan pada saat tertentu saja. Kini pun sudah jarang kita mendengar ungkapan itu dipakai dalam percakapan kaum remaja. Masanya sudah berlalu.

Hal yang perlu ditandai dalam laras iklan adalah bahwa kita tidak perlu selalu menggunakan kalimat lengkap. Artinya, tidak selalu dibutuhkan kalimat yang mengandung subjek, predikat, dan objek atau pelengkap. Hal yang penting dalam laras iklan adalah keutuhan wacana. Jadi, misalnya, dalam iklan kopi, kita melihat adanya urutan kalimat tidak lengkap, Tunggu? Hati-hati? Lebih pelan? Kalimat-kalimat yang tidak lengkap ini tidak mengganggu penyampaian pesan. Masalah yang harus dikuasai oleh seorang penulis iklan adalah cara penggunaan kalimat tidak lengkap yang tidak melanggar kebenaran kaidah. Dalam hal ini, ketidaklengkapan kalimat menjadi permainan bahasa, misalnya untuk membangun klimaks dalam teks iklan.

Jadi, memang, kita tidak boleh bersikap kaku dalam menghadapi laras iklan sebagai suatu sarana penggunaan bahasa yang dinamis. Akan tetapi, kita tetap perlu memperhatikan aspek penggunaan bahasa yang baik dan benar dalam laras iklan. Gunakanlah bahasa yang komunikatif dengan tetap memperhatikan ketaatan pada kaidah dan asas ejaan dan tanda baca sebagai laras iklan.

Mutu Bahasa Iklan

Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana mutu bahasa Indonesia yang digunakan dalam periklanan? Mutu bahasa Indonesia dalam laras iklan sekarang sudah jauh lebih baik. Sudah banyak iklan yang dengan sadar memperhatikan penggunaan bahasanya.

Malam Citra Pariwara, yakni acara pemberian penghargaan kepada iklan terbaik, yang mulai diselenggarakan pada tahun 1988 (Cakram, 1998), mendorong perusahaan iklan untuk menghasilkan iklan yang bermutu. Dalam hal ini, unsur bahasa tidak mereka abaikan. Ada penghargaan khusus untuk iklan yang berbahasa Indonesia terbaik, yaitu penghargaan CITRA PARIKRAMA. Dalam tim juri diikutsertakan juri dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Pemberian penghargaan ini merupakan usaha dunia periklanan untuk memberi lebih banyak perhatian kepada penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Oleh karena itu, kita dapat melihat bahwa iklan-iklan yang ditangani oleh perusahaan iklan yang ternama sangat memperhatikan penggunaan bahasa Indonesia dalam iklan mereka.

Di lain pihak, masih dapat ditemukan iklan-iklan yang mengandung kesalahan berbahasa. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dalam bukunya Pemakaian Bahasa dalam Iklan Berita dan Papan Reklame (1992) sudah mendaftarkan berbagai kesalahan yang dapat ditemui dalam laras iklan. Masalahnya, tidak semua penulis iklan atau copywriter memiliki penguasaan atas bahasa Indonesia yang baik dan benar. Akibatnya, iklan yang dihasilkannya tidak merupakan hasil kerja maksimal dari kemampuan berbahasa sang penulis iklan. Kesalahan itu mencakup kesalahan pungtuasi dan ejaan hingga kesalahan tata bahasa dan pilihan kata. Contoh-contoh yang diuraikan dalam pembahasan ini lebih mengarah pada kesalahan bahasa yang ditemukan pada iklan media cetak.

Kesalahan ejaan dan pungtuasi. Masih sering dapat ditemukan iklan-iklan yang mengandung kesalahan ejaan dan pungtuasi. Kesalahan ini terlihat jelas pada tajuk iklan atau headline iklan. Seringkali jawaban yang diberikan atas perbaikan yang diusulkan adalah keterbatasan ruang. Akan tetapi, dalam kenyataannya, ketiadaan tanda baca lebih sering terjadi karena kurangnya pengetahuan penulis akan fungsi dan tempat tanda baca itu.

Jika kita bandingkan iklan kopi (lampiran 2) yang sudah dibahas di atas dengan sebuah iklan layanan masyarakat mengenai lingkungan (lampiran 3). Tajuk dalam iklan layanan masyarakat itu sudah mengandung beberapa kesalahan pungtuasi.

Indonesia Bolehkah Aku Bertanya

Kemana Perginya Hutan & Satwa Mu?

Perhatikan bahwa penggunaan ejaan dan tanda baca dalam iklan kopi sangat diperhatikan. Kata-kata seru dan fatis diletakkan di antara tanda koma. Penggunaan kata fatis lho pada moto ditulis dengan huruf miring. Sebaliknya, dalam tajuk iklan layanan masyarakat di atas, kita akan menemukan dua kesalahan pungtuasi dan tiga kesalahan ejaan. Penggunaan Mu dalam iklan itu salah, karena hanya klitik mu yang merujuk kepada Tuhan sajalah yang dieja dengan huruf besar. Kata dan dalam iklan tersebut sebaiknya tidak diwakili oleh lambang &. Lagipula, tidak ada alasan untuk menggunakan lambang itu, karena ruang untuk mengeja kata dan cukup luas. Perbaikan bagi tajuk iklan tersebut adalah sebagai berikut.

Indonesia, Bolehkah Aku Bertanya:

‘’Ke mana Perginya Hutan dan Satwamu?’’

Kesalahan tata bahasa dan pilihan kata. Mari kita perhatikan iklan KIA berikut ini (lampiran 4). Iklan ini disusun dalam bentuk badan iklan (bodycopy) yang panjang. Di samping kesalahan pungtuasi dan ejaan, iklan ini mengandung beberapa kesalahan pilihan kata dan kesalahan tata bahasa. Mari kita kalimat-kalimat yang mengandung kesalahan.

Kalimat pertama yang mengandung kesalahan adalah Kebutuhan air bersih dengan cepat meningkat terus sejalan dengan semakin bertambahnya penduduk bumi, padahal cadangan air bersih kian hari kian menipis. Kesalahan terletak pada penggunaan frase dengan cepat. Frase keterangan yang didahului oleh preposisi dengan menerangkan cara sebuah verba dilaksanakan atau alat yang digunakan untuk melakukan verba. Keterangan yang diawali oleh preposisi dengan tidak pernah mengikuti sebuah nomina kecuali jika keterangan itu merupakan keterangan penyerta (contoh: Foto yang diterima hanya foto yang menggambarkan seorang bayi dengan ibunya). Sebaiknya, bagian kalimat itu diperbaiki menjadi ‘’Kebutuhan yang tinggi (atau yang cepat) akan air bersih …’’.

Kalimat kedua adalah Alangkah baiknya bila penghematan air mulai diterapkan dalam keluarga Anda sendiri. Dalam kalimat tersebut ada dua kesalahan bahasa, yakni kekurangan pungtuasi dan kesalahan penggunaan kata. Setelah frase alangkah baiknya seharusnya ada tanda baca koma. Kata bila digunakan secara salah dalam kalimat tersebut. Kata bila merupakan interogativa yang menanyakan waktu. Kalimat yang sedang dibahas ini, merupakan kalimat yang mengandung persyaratan. Dalam hal ini, konjungsi yang seharusnya digunakan adalah konjungsi yang menyatakan syarat, seperti apabila, jika, atau jikalau. Konjungsi apabila dan jikalau mungkin terlalu panjang untuk laras iklan, maka konjungsi yang tepat dan sesuai bagi laras iklan adalah konjungsi jika.

Kalimat ketiga yang mengandung kesalahan adalah Bayangkan, dari satu keluarga dengan anggota 4 orang dan memiliki 1 kamar mandi maka setiap tahunnya bisa dihemat air sebanyak 20 ribu hingga 25 ribu liter. Logika kalimat ini kacau oleh karena penggunaan konjungsi dan serta konjungsi maka yang salah. Konjungsi dan seharusnya menghubungkan dua bagian kalimat yang koordinatif dan paralel sifatnya, sedangkan dalam kalimat ini tidak jelas bagian kalimat yang dihubungkan dengan kata dan itu. Konjungsi maka adalah konjungsi yang menyatakan akibat. Dalam kalimat itu, tidak jelas bagian kalimat yang berlaku sebagai sebab. Kalimat itu dapat diperbaiki menjadi Bayangkan, setiap tahunnya, sebuah keluarga, yang terdiri atas 4 orang dan memiliki 1 kamar mandi, dapat menghemat 20 ribu hingga 25 ribu liter air. Kalimat menjadi lebih jelas dan jumlah kata yang dikandung dalam kalimat perbaikan lebih sedikit.

Kalimat berikutnya yang mengandung kesalahan adalah Sedangkan untuk hotel dengan 300 kamar, penghematan air akan mencapai 2 juta liter per tahun, bila menggunakan kloset 6 liter. Konjungsi sedangkan tidak boleh diletakkan di awal kalimat. Penggunaan konjungsi bila dalam kalimat ini juga salah, seperti telah diuraikan di atas. Selain itu, hubungan persyaratannya tidak jelas. Dengan menghilangkan preposisi untuk kita dapat memperbaiki kalimat tersebut menjadi Hotel dengan 300 kamar akan menghemat 2 juta liter air per tahun jika menggunakan kloset 6 liter. Sekali lagi kalimat yang jelas dengan jumlah kata yang lebih sedikit daripada kalimat sebelumnya.

Dalam iklan bedak bayi (lampiran 5), kita lihat ada kesalahan berbahasa pada tajuk iklan. Baru. Bedak Pigeon dengan Jojoba Agar Bayi Terhindar Siksa Lecet. Kalimat ini kekurangan proposisi. Seharusnya berbunyi Baru. Bedak Pigeon dengan Jojoba Agar Bayi Terhindar dari Siksa(an) Lecet. Tidak ada alasan untuk menghilangkan preposisi dalam kalimat tersebut karena ada banyak sisa tempat dalam iklan tersebut.

Pemenggalan jeda dalam kalimat seperti terlihat dalam iklan layanan masyarakat gemar membaca (lampiran 6). Iklan ini dipasang dalam majalah Bobo. Itu berarti bahwa pembaca iklan ini adalah anak-anak yang duduk di Sekolah Dasar. Pemenggalan-pemenggalan kalimat dalam iklan ini akan menyebabkan anak memperoleh pengertian yang salah mengenai pesan yang ingin disampaikan melalui iklan itu. Jika kita lihat bentuk iklan itu, sebenarnya pemenggalan itu masih dapat diatur lebih lanjut sehingga iklan itu menjadi seperti terlihat di lampiran 6. Rasanya, pemenggalan seperti itu terjadi bukan dengan sengaja, tetapi lebih banyak berdasarkan ketidaktahuan penulis iklan akan kaidah frase, pengelompokan frase yang membentuk subjek, predikat, dan seterusnya. Ketidaktahuan inilah yang harus kita atasi bersama.

Penggunaan Bahasa dalam Iklan Media Elektronik

Pada dasarnya, permasalahan dalam penggunaan bahasa yang dicakup dalam iklan radio dan televisi tidak jauh berbeda dari permasalahan yang diuraikan di atas. Akan tetapi, tentunya, ejaan dan pungtuasi tidak relevan untuk dibahas dalam kedua jenis iklan ini. Masalah yang dapat dibahas sehubungan dengan jenis iklan ini adalah pelafalan. Misalnya, perbedaan pelafalan antara /ide/ dengan /idé/; antara /peka/ dan /péka/ dan sebagainya. Pembuat iklan harus memperhatikan pelafalan narator iklan agar pesan dapat sampai dengan jelas (Lewis, 1988). Perhatikan letak jeda dalam kalimat. Perhatikan pula penekanan dalam kalimat. Ujaran harus jelas, jangan menggumam. Angka, simbol, singkatan atau akronim harus dieja dan dilafalkan dengan baik.

Selain masalah pelafalan, kita juga perlu memperhatikan masalah intonasi. Sebenarnya, intonasi dapat mewakili suasana hati pembicara. Jadi, perlu kita perhatikan intonasi yang menyatakan keheranan, ketakutan, kegembiraan, kesedihan, atau keprihatinan. Iklan radio mengenai produk-produk Unilever menggunakan intonasi yang baik sekali. Kita dapat membayangkan suasana tertentu melalui suara tokoh-tokoh dalam iklan, seperti kelompok kecoa yang terpaksa pindah karena obat pel VIM BIRU. Kita juga dapat menangkap nada keprihatinan seorang bos yang membicarakan penurunan keuntungan perusahaan dalam iklan Telepon Ratelindo.

Sebaiknya, sedapat mungkin, kita berusaha agar dalam iklan radio atau televisi penggunaan kata-kata yang kasar, seperti berengsek, sialan, dihindari. Masalahnya, kata-kata tersebut sangat mudah melekat di benak anak-anak hingga mereka akan terbawa berbahasa kasar. Hal yang juga perlu dihindari adalah penggunaan kata-kata yang terlalu menjurus atau yang dapat menimbulkan asosiasi tertentu, seperti Ini kacangku yang dibawakan oleh suara wanita atau Pas susunya yang dibawakan oleh suara pria. Memang, seringkali kita dijawab dengan bantahan bahwa penulis iklan tidak bertanggung jawab atas asosiasi yang ditimbul di benak khalayak sasaran karena bahasa yang digunakan dalam iklan. Lebih jauh lagi, penulis iklan akan mengatakan bahwa inilah kreativitas dalam penulisan iklan.

Akan tetapi, jika kita kaji lebih jauh. Justru, kreativitas yang membangkitkan asosiasi yang dangkal bukanlah kreativitas dalam arti yang sebenar-benarnya. Kita juga tidak boleh sampai menjadi vulgar atau terjerumus menjadi iklan murahan. Perhatikan pula bahwa iklan-iklan yang memperoleh hadiah Adiprima Citra Pariwara, bukanlah iklan-iklan yang bergaya asosiatif seperti itu. Kreativitas yang dituntut adalah kreativitas yang menggugah imajinasi secara positif dan yang menggelitik intelektualitas seseorang. Kita tidak boleh melupakan bahwa sebuah iklan merupakan sebuah bentuk penyajian fakta yang bersifat logis.

Dalam buku-buku petunjuk penulisan iklan yang ditulis oleh Schwab (1962) dan Lewis (1988), dikatakan bahwa di balik semua permainan kata, jangan lupa untuk menyajikan fakta yang dirangkai secara logis dan menarik kepada sasaran iklan. Iklan yang dangkal tidak akan menarik minat beli khalayak sasaran. Mungkin saja khalayak sasaran ingat terhadap iklan sebuah produk, namun mereka tidak tertarik untuk membeli produknya.

Dampak Iklan terhadap Perilaku Berbahasa Masyarakat

Sebuah strategy periklanan (Kleppner, 1972), selain bertujuan untuk menjual sebuah produk atau suatu gagasan, bertujuan untuk membangun atau membina kesadaran (awareness) masyarakat atas produk atau gagasan tertentu. Oleh karena itu, sebuah iklan akan ditayangkan berkali-kali, baik secara cetak di media cetak maupun secara audio-visual di media elektronik. Khalayak sasaran: tua muda, besar kecil, akan terdedah oleh iklan itu terus-menerus, berkali-kali dalam satu hari.

Proses pendedahan atau pentubian seperti itu menyebabkan iklan sebuah produk atau gagasan dapat menetap dalam benak khalayak sasaran. Dengan sendirinya, proses tersebut akan mempengaruhi perilaku berbahasa masyarakat. Iklan menjadi sarana termudah bagi seseorang untuk memperluas kognisinya. Orang dapat menambah pengetahuannya dengan membaca iklan. Misalnya, pada iklan bedak bayi (lampiran 5), kita bertemu dengan istilah Jojoba. Apakah itu jojoba? Orang yang belum tahu arti jojoba dapat mempelajari arti kata itu dari badan iklannya Jojoba adalah bahan alami semacam lilin cair yang efektif menjaga kelembaban kulit serta memiliki sifat pelumasan dan juga dapat melindungi kulit dari lecet akibat gesekan.Informasi seperti ini akan memperkaya khasanh pengetahuan khalayak sasaran dan akan membentuk pula gaya berbicaranya.

Penggunaan tanda baca dan ejaan yang tepat dan teliti sangat penting untuk iklan, terutama dalam penulisan tajuk iklan. Akan tetapi, kepentingan itu tidak hanya terbatas pada kebutuhan produsen agar pesan sampai dengan baik atau agar citra yang baik terhadap produk terbentuk di benak khalayak sasaran. Melainkan, lebih jauh lagi, berkaitan dengan proses pendidikan anak-anak di bangku Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar. Setiap anak dalam proses belajar membaca akan tertarik pada tulisan yang besar dan jelas. Ia akan menguji kemampuannya membaca dengan menggunakan tajuk iklan sebagai bahan ujinya. Penggunaan tanda baca yang cermat dalam iklan akan membentuk kebiasaan berdisiplin dalam menulis. Ketepatan tanda baca akan melatih anak untuk membaca dengan baik, menangkap informasi dengan baik. Jika tidak ada orang tua yang mendampingi anak membaca, ia akan melalukan rujuk silang dengan iklan yang didengarnya dan dilihatnya di radio dan televisi. Dengan demikian. Jelas tergambar keterkaitan antara sebuah strategi periklanan dengan perkembngan khasanah pengetahuan khalayak sasaran, terutama anak kecil.

Tidak ada rambu-rambu yang menuntut kita untuk menulis iklan dengan baik. Tidak ada sangsi yang dijatuhkan jika kita tidak memperhatikan penggunaan tanda baca dan ejaan. Hanya kesadaran dan rasa tanggung jawab kitalah yang akan membimbing kita untuk menulis sebuah iklan dengan baik dan benar. Penggunaan bahasa yang baik akan membentuk perilaku berbahasa yang baik pula. Berapa seringkah kita mendengar anak-anak kita menjawab kita dengan ‘’Iya, ya’’ seperti pelafalan yang terdapat dalam sebuah iklan obat atau ‘’wes-ewes-ewes, bablas anginne’’?

Strategi dan Upaya dalam Mengembangkan Bahasa Laras Iklan

  • Langkah-langkah yang diambil dalam penyusunan strategi sebaiknya melibatkan praktisi periklanan, pemerhati bahasa, maupun kaum akademisi.
  • Perlu dilaksanakan suatu penelitian yang tidak hanya akan menghasilkan suatu deskripsi mengenai bahasa iklan melainkan lebih jauh lagi akan dapat memberikan gambaran mengenai bangun iklan dan bahasa yang terkait di dalamnya.
  • Para calon peneliti harus memperoleh masukan terlebih dahulu mengenai prinsip-prinsip dan konsep-konsep yang ada dalam dunia periklanan. Mereka harus mempelajari tata cara dan prosedur pembuatan sebuah iklan, baik iklan cetak maupun iklan media elektronik. Penelitian harus mengetahui terlebih dahulu berbagai format iklan dan keterkaitannya dengan penggunaan bahasa.
  • Para peneliti kemudian melakukan abstraksi atas analisis yang telah mereka lakukan sehingga, setidaknya, kita memperoleh penanda atau ciri -ciri laras iklan.
  • Para praktisi periklanan sebaiknya juga membaca buku-buku yang menjelaskan penggunaan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Langkah berikutnya mencari bentuk bahasa yang dapat dijadikan pedoman dalam penulisan iklan.
  • Langkah yang perlu dipikirkan adalah penyusunan kurikulum yang baku bagi sekolah atau perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan periklanan. Di dalam kurikulum tersebut pengajaran bahasa Indonesia perlu mendapatkan porsi yang banyak dan dipentingkan. Sebaiknya, dipikirkan kurikulum yang langsung menjurus kepada kegiatan pengajaran penulisan iklan yang kreatif dan baik.
  • Perluasan pengetahuan di kedua belah pihak perlu dilakukan. Pihak pemerhati bahasa harus jeli dan waspada terhadap perkembangan bahasa yang terjadi dalam laras iklan, sedangkan pihak praktisi iklan harus memperdalam pengetahuan mereka mengenai bahasa Indonesia agar mereka menjadi terampil dalam menggunakan bahasa sesuai dengan kebutuhan mereka.

Daftar Rujukan

Alwi, Hasan, dkk. 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit Balai Pustaka

Arifin, E. Zaenal; Zulkarnain; Jumariam. 1992. Pemakaian Bahasa dalam Iklan Berita dan Papan Reklame. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Cook, Guy. 1992. The Discourse of Advertising. London dan New York: Routledge.

Crompton, Alastair. 1979. The Craft of Copywriting. Communica-Europa: Business Books.

Djulfiansyah, Indra. 1992. ‘’Fungsi Ekspresif Bahasa Tajuk Iklan’’. Skripsi Sarjana di Fakultas Sastra UI, Depok.

Fathia, Nurul. 1993. ‘’Slogan Bank: Sebuah Analisis Struktural dan Sosiolinguistik’’. Skripsi Sarjana di Fakultas Sastra UI, Depok.

Kasali, Rhenald. 1992. Manajemen Periklanan: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Kleppner, Otto. 1979. Advertising Procedure. New Jersey: Prentice-Hall Inc.

Kridalaksana, Harimurti. 1994. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Edisi kedua. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

Lewis, Herschell Gordon. 1988. On The Art of Writing Copy. New Jersey: Prentice-Hall.

Muhadjir dkk. (Peny.) 1992. Transformasi Budaya Seperti Tercermin dalam Perkembangan Bahasa-bahasa di Indonesia. Depok: Fakultas Sastra UI.

Schwab, Victor O. 1962. How to Write A Good Advertisement. California: Wilshire Book Company.

Utorodewo, Felicia N. 1981. ‘’Intonasi Iklan Radio’’. Skripsi Sarjana di Fakultas Sastra UI, Depok.

Cakram. Majalah Periklanan, Kehumasan, dan Komunikasi Bisnis, Oktober 1998.

--

--